Pagi ini saya mengerjakan order tas yang saya jual online di toko maya saya “Ndondomi Store” di FB. Setelah ikut bazaar Kamus Iman kemaren masuklah beberapa order tas. Mumpung libur Anzac Day maka mulai saya kerjakan ordernya. Sesuai arahan mas Dian yang dulu pernah kerja di pabrik tas di Semarang, maka proses produksi baiknya dimulai dari menggunting kain semua dulu, baru njaiiiiiiit semua trs masuk finishing dan quality controlnya. Cieee…quality control, yang ada juga saya mbatin aduh ini miring jaitannya, yaaa..ternyata masih ada yang bolong belum kejait atau bahkan ya Allah salah jait hahaha….yuk mari dedel duwel duluuuu…
Setelah motong kain sesuai pola untuk beberapa tas, saya kumpulkan segala pernak-pernik untuk tiap-tiap tas. Dalam satu paket ada kain bagian luar, bagian lapisan dalam, resleting, kancing magnet tali sampe gesper dan kain keras. Tiap-tiap tas saya jadikan satu menjadi sebuah gulungan. Semacam ini.
Gulungan-gulungan kain ini tetiba membawa saya ke kenangan masa lalu. Saat saya masih TK. Ibu saya seorang pegawe konveksi. Beliau mengambil jaitan ke seorang pengusaha pengekspor baju-baju untuk dalam dan luar negeri. Tiap dua atau tiga hari sekali ibu pergi ke Jalan Lokon daerah sekitar Dieng Plaza Malang. Menemui Om dan Tante kata ibu. Mereka berdua pengusaha keturunan Cina. Saya pernah ketemu dengan mereka kala ikut mengambil jaitan. Si Tante cantiiik orangnya, sedang si Om tambun suka pakai singlet doang.
Kata ibu mereka orang baik, karena mau memberi kesempatan ibu saya belajar menjait sampe terampil. Waktu itu abah saya masih kuliah, tidak bekerja sehingga uang kembang kempis. Ibu saya masih muda dan sudah punya anak dua, saya dan kakak. Karena terjepit kebutuhan hidup maka ibu mencari-cari cara supaya tetap bisa bertahan sampe akhirnya abah saya lulus kuliah dan jadi PNS. Sampailah ibu ke usaha konveksi si om dan tante ini.
Ibu dulu sering cerita kalo om tau ibu tidak terlalu bisa menjait. Tapi om mungkin juga butuh penjait sehingga ibu dikasih juga jaitan. Disuruh belajar bahkan kadang diajari supaya jaitannya lebih bagus. Awal menjait ibu saya sempat putus asa. Sering menangis saking tak bisanya menjait. Tapi karena tuntutan ekonomi maka ibu tetap berusaha, dan akhirnya bertahun-tahun ibu kerja dengan om dan tante ini. Sampe saya SMP sepertinya.
Setiap kali pulang dari rumah om ini, ibu membawa gulungan kain. Saya ingat waktu itu ibu harus menjahit baju warna putih dengan hiasan bordir dan renda. Ternyata untuk summer dress diekspor ke luar negeri. Tiap kali gulungan dibuka saya akan melihat dengan takjub. Ada berbagai kancing dan renda. Apalagi kalo baju anak-anak. Banyak pernak pernik. Ada kancing berbagai warna dan bentuk, ada aplikasi lucu lucuuuuuu dan renda cantik cantiiik. Saya diperbolehkan main dengan kancing dan renda tapi tidak boleh sampai hilang karena semua sudah dihitung pas. Bahkan ketika ibu meminta saya membantu maka saya gak malas-malasan tapi senaaang sekali. Membantu apa? Sekedar menggunting benang-benang obrasan untuk memisahkan potongan-potongan kain. Ada bagian depan baju, lengan, kerah, rok dan bagian belakang. Kadang saya juga membantu memasang kain dan mengelim bagian lengan, krah atau bawah rok. Kadang saya suka baju yang ibu jahit. Maka kalo lebaran ibu biasanya “nempil” baju yang saya suka ke om, baju model balon atau dengan aplikasi rumah jamur yang tetap saya ingat sampai sekarang.
Dan gulungan-gulungan kain pagi ini mengingatkan kembali ke kenangan masa kecil saya. Ke masa pertama kalinya mengenal jait menjait. Dan tentu mengingatkan saya pada ibu, yang sementara ini masih nun jauh di sana. Tak hanya jaitannya yang diekspor, tapi anaknya pun sekarang sedang diekspor hahaha….
Bismillah..semoga lekas bisa pulang dan memeluk ibu.
Melbourne 25 April 2016
Salam